ORBIT JABAR

Potensi dan Pemanfaatan Logam Tanah Jarang

Foto: Eko Sulistyo, Komisaris PT. PLN (Persero), sumber foto Google

Oleh: Eko Sulistyo

OPINI: Berita tentang keberadaan logam tanah jarang (LTJ) atau "rare earth" dalam endapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, sempat menyita perhatian publik.  Selain memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan, LTJ juga dapat dikembangkan menjadi teknologi modern di Indonesia.  Khususnya untuk memenuhi kebutuhan masa depan terkait pengembangan teknologi energi terbarukan.

Permintaan terhadap LTJ diperkirakan akan meningkat seiring tuntutan global terhadap pemenuhan tujuan Perjanjian Paris dan target Net Zero Emissions. Bahkan begitu pentingnya LTJ dalam transisi ke teknologi rendah karbon, banyak ahli mengistilahkannya “vitamin masyarakat modern”. Hal ini mengacu pada perannya yang digunakan dalam berbagai aplikasi teknologi tinggi seperti turbin angin, kendaraan listrik, dan penyimpanan baterai.

Pada tataran geopolitik, dominasi Cina dalam pasokan global LTJ, menyebabkan logam ini berada pada pusaran perebutan kekuasaan dan pengaruh. Pada 2010, Cina pernah memblokir ekspor LTJ ke Jepang selama sengketa kepulauan di Laut Cina Selatan.  Pada awal 2018, Amerika Serikat (AS) pernah memberlakukan pajak impor LTJ dari Cina, yang dibalas oleh Cina dengan ancaman untuk menghentikan pasokan ke AS.

Selama lima belas tahun terakhir, produksi LTJ dan produk olahan sebagian besar telah dikuasai oleh Cina. Dengan mengendalikan 80 persen produksi dunia, kondisi ini telah menciptakan ketakutan bagi industri modern. Tidak heran jika Komisi Eropa pada 2020 menempatkan LTJ di posisi teratas dalam daftar mineral yang paling rentan terhadap resiko rantai pasokan (EUR-lex, Dok. 52020DC0474).

Potensinya di Indonesia

Deposit LTJ ada di Cina, California, Australia, Brasil, Burundi, India, Malaysia, Myanmar, Rusia, Thailand dan Vietnam, dengan cadangan deposit global mencapai 120 juta ton (U.S. Geological Survey, 2020).  Sampai 1980-an, AS adalah produsen mineral LTJ terbesar di dunia.  Namun dengan investasi yang signifikan dalam kemampuan penambangan dan pemrosesan, Cina kemudian tampil mendominasi produksi LTJ dunia.

Bagi masyarakat Indonesia, mineral LTJ masih kurang popular dibandingkan batubara, nikel, bauksit, timah, dan lain-lain.  Dari segi istilah, LTJ sebenarnya bukan unsur logam yang jarang, namun istilah “rare” (jarang) lebih dimaknai sebagai tidak umum. LTJ terdiri dari 17 unsur, yang dalam istilah teknisnya dikenal sebagai kelompok lantanida.  Istilah LTJ didasarkan pada asumsi keberadaannya yang tidak banyak dijumpai.  

Namun dalam praktiknya, kelimpahan LTJ bisa melebihi unsur lain dalam kerak bumi, hanya sebarannya yang meluas dan biasanya dalam jumlah terbatas. Dalam "Potensi Logam Tanah Jarang di Indonesia" (2019), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah lama mensurvei potensi LTJ.  Salah satu kawasan yang prospektif adalah Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah), potensi LTJ juga tersebar pada enam belas lokasi di Sumatera, tujuh di Kalimantan, tiga di Sulawesi dan dua di Jawa.

Secara teknis, potensi sumber daya LTJ di Indonesia ada dua tipe, yaitu tipe endapan plaser dan tipe endapan lateritic.  Salah satu tipe plaser yang paling dominan di Indonesia adalah timah, yang banyak ditemukan di jalur granit timah Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan bagian selatan Kalimantan Barat.  Semakin besar potensi timah semakin besar pula potensi LTJ.  

Selain dari pertambangan timah, sumber potensi LTJ di Indonesia juga berasal dari tambang bauksit dan tambang nikel.  Dari pertambangan timah, mineral pembawa LTJ yang sudah terkonfirmasi diantaranya monasit dan xenotime. Sedangkan LTJ dari tambang bauksit biasanya mengandung logam yttrium, dan dari nikel didapat kandungan scandium dan lithium, sebagai bahan pembuatan baterai kendaraan listrik.

Dari hasil survei Badan Geologi bersama PT Antam (2011), ditemukan indikasi jenis endapan laterit di Kalimantan Barat, sebagai unsur penyerta endapan bauksit dan nikel.  Kandungan LTJ juga ditemukan pada endapan batubara dan abu batubara.  LTJ banyak diburu bersama unsur paduannya, karena banyak digunakan untuk peralatan elektronik, termasuk untuk teknologi masa depan seperti superkonduktor dan pengangkut hydrogen.

Pada produk seperti baterai komputer, baterai mobil listrik, dan peralatan komunikasi, LTJ banyak digunakan karena daya pakai yang lebih lama, mudah diisi ulang, dan mudah didaur ulang.  Beberapa penggunaannya juga sangat strategis dan digunakan secara luas dalam militer.  Raksasa industri pertahanan seperti Raytheon, Lockheed dan BAE Systems menggunakannya untuk sistem pemandu dan sensor misil mereka.

Ketika dunia sudah mulai berbicara pemanfaatan LTJ di hampir setiap bidang teknologi, kita masih menemui kendala, terutama keterbatasan data terkait pemanfataannya. Padahal berdasar survei, potensi LTJ Indonesia sangat menjanjikan. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah dalam mengelolanya, mengingat LTJ tergolong mineral kritis yang rentan dipengaruhi isu global.

Adopsi Teknologi

Peranan teknologi dalam pemanfaatan LTJ sangat penting. Saat ini Cina yang merupakan produsen terbesar dunia, masih menutupi teknologi dalam memanfaatkan mineral langka ini.  Dalam hal produksi dan capaian teknologi LTJ, Cina adalah yang paling unggul, bahkan terhadap AS yang menjadi rival tradisionalnya.

Dalam mengejar ketertinggalan, Indonesia bisa mengambil opsi kemitraan strategis, seperti pengalaman dengan Korea Selatan dalam industri baterai kendaraan listrik, pesawat tempur dan kapal selam. Kemitraan strategis dirasa tepat, mengingat biaya riset dan pengembangan (R&D), terbilang besar. Belum lagi butuh waktu lama, sementara Cina sudah mengembangkan produksi LTJ sejak pertengahan dekade 1980-an.

Berdasar pengalaman transfer teknologi dalam smelter nikel, kita cukup optimis berkolaborasi dengan Cina. Berdasarkan pengalaman selama ini, kerja sama dengan Cina, khususnya dalam pembangunan infrastruktur skala besar dan padat teknologi, senantiasa berjalan dengan baik. Indonesia membutuhkan mitra strategis yang dapat bekerjasama perihal teknologi pengolahan LTJ.

Salah satu skema yang paling mungkin adalah adopsi teknologi dalam pemrosesan LTJ. Adopsi ini bisa dilakukan segera, salah satunya dihubungkan dengan temuan lapangan Kementerian ESDM pada kandungan monasit (unsur penyerta timah) di wilayah Bangka pada 2021.  Setelah perhitungan selesai, PT Timah diharapkan menjadi BUMN yang dapat mengumpulkan atau membeli monasit.

Seperti harapan pemerintah, PT Timah dapat memilih teknologi untuk mengolah monasit. PT Timah diharapkan juga dapat melakukan konstruksi pembangunan fasilitas pengolahan untuk monasit dan sisa hasil produksi timah. Sehingga pada 2026 mendatang, BUMN tambang ini mampu memproduksi LTJ perdana.

Kini di tengah tren transisi energi, seperti ditulis dalam "The Role of Critical Minerals in Clean Energy Transitions" (IEA, 2021), peran mineral akan sangat menentukan kemajuan teknologi energi bersih. Diproyeksikan pangsa mineral seperti LTJ dan tembaga akan meningkat 40 persen, nikel dan kobalt 60-70 persen, dan lithium hampir 90 persen pada 2040.  Di era masa depan rendah karbon yang akan sangat padat mineral, pemerintah dapat memanfaatkan sumber daya mineralnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

---------------

Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero).

Post a Comment

أحدث أقدم